Sekolah Ramah Anak sebagai Pilar Utama dalam Pembentukan Karakter
Sekolah Ramah Anak sebagai Pilar Utama dalam Pembentukan Karakter
Pendidikan karakter merupakan bagian penting dari kehidupan manusia. Pada dasarnya manusia secara alamiah merupakan makhluk yang belajar dari peristiwa alam dan gejala kehidupan yang ada untuk mengembangkan kehidupannya. Pendidikan karakter tidak hanya untuk anak-anak, remaja, dewasa, namun semua manusia (Banse & Hura, 2023). Dalam proses ini, lingkungan belajar memiliki peran yang sangat penting, tidak hanya sebagai tempat untuk menuntut ilmu, tetapi juga sebagai ruang untuk menumbuhkan nilai-nilai kehidupan (Nurlaela, 2016). Salah satu konsep yang kini menjadi sorotan dalam dunia pendidikan adalah Sekolah Ramah Anak (SRA).
Sekolah Ramah Anak merupakan bentuk kebijakan pendidikan yang menempatkan anak sebagai subjek utama pembelajaran, dengan memperhatikan hak-hak mereka untuk mendapatkan perlindungan, kenyamanan, partisipasi, serta lingkungan yang inklusif dan bebas dari kekerasan (Herianto et all., 2020). Dalam hal ini, SRA diyakini mampu menjadi pilar utama dalam pembentukan karakter, karena anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah. Oleh karena itu, peran sekolah sebagai pengganti rumah kedua menjadi sangat krusial dalam menanamkan nilai-nilai seperti empati, disiplin, tanggung jawab, dan kerja sama. Namun, di sisi lain, muncul pula pandangan bahwa pembentukan karakter tidak bisa hanya dibebankan pada sekolah. Keluarga dan lingkungan sekitar tetap menjadi landasan awal dan utama dalam membentuk jati diri anak (Lubis et all., 2021).
Pada DIKTIF (Diskusi Ilmiah Kritis dan Kreatif) yang dilaksanakan pada Sabtu, 3 Mei 2025 membahas topik yang sedang hangat diperbincangkan di kalangan pendidik dan pemerhati anak. Dengan mengundang salah satu Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) UKM KIPM 2023/2024 yaitu Nabella Salsabila Muti, sebagai pemateri yang menemani peserta DIKTIF dengan topik yang diangkat yaitu Sekolah Ramah Anak sebagai Pilar Utama dalam Pembentukan Karakter.
Dalam diskusi DIKTIF, tim pro menyampaikan bahwa mereka sepakat Sekolah Ramah Anak menjadi pilar utama pembentukan karakter anak. Iza berpendapat bahwa “kami percaya bahwa sekolah yang ramah anak merupakan pilar utama dalam membentuk karakter karena lingkungan belajar yang aman, inklusif, dan menghargai hak anak akan mendorong nilai-nilai positif seperti empati, tanggung jawab, dan disiplin. Seperti yang dijelaskan dalam data KPAI tahun 2020, karakter anak akan berkembang optimal ketika mereka tumbuh dalam lingkungan yang menghargai martabat dan hak mereka.”
Pendapat Iza ini kemudian dikuatkan oleh Zaimatul yang mengatakan bahwa “anak-anak yang orang tuanya sibuk, biasanya pelariannya ada di sekolah. Maka sekolah menjadi tempat utama dalam pengawasan. Di situlah pentingnya SRA karena lingkungannya aman dan responsif. Peran guru sangat besar, dan bisa dibantu oleh badan konseling sekolah untuk memastikan nilai-nilai SRA dijalankan secara maksimal.” Zidan dari tim pro juga berpendapat bahwa “Lingkungan sekolah kini menjadi bagian yang signifikan dalam pembentukan karakter anak, seiring bertambahnya waktu yang dihabiskan anak di sekolah. Oleh karena itu, SRA menjadi solusi yang cocok untuk membentuk karakter, terutama di masa depan yang semakin kompleks.” Sementara itu, Budi menambahkan bahwa “ketika perhatian keluarga kurang, maka sekolah yang ramah anak bisa melengkapi peran tersebut. Guru sering menjadi support system bagi anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian cukup di rumah.”
Namun pernyataan-pernyataan tim pro tersebut dibantah oleh tim kontra, yang menyatakan bahwa pilar utama pembentukan karakter adalah keluarga dan lingkungan sekitar, bukan sekolah. Anam menyampaikan bahwa “kalau di sekolah sudah diajarkan tata krama, tetapi di rumah atau lingkungan anak tetap kembali ke perilaku awal, maka itu tidak ada gunanya. Jadi peran utama tetap pada orang tua dan lingkungan.” Pendapat Anam ini juga didukung oleh Dea yang menyatakan bahwa “karakter seperti kejujuran yang ditanamkan sejak dini di lingkungan keluarga. Sekolah sebesar apapun tidak bisa menggantikan peran keluarga. Apalagi sekarang ini pengaruh media sosial dan internet juga sangat besar terhadap anakanak.” Lida pun menambahkan bahwa “ada penelitian yang menunjukkan bahwa pendidikan karakter dimulai dari rumah. Dan kenyataannya, banyak sekolah di Indonesia belum bisa menerapkan prinsip-prinsip sekolah ramah anak secara maksimal. Guru pun sering tidak mampu menangani karakter semua siswanya karena keterbatasan.” Elysa memperkuat argumen ini dengan mengatakan bahwa “di sekolah, guru tidak bisa mengontrol semua siswa. Jumlah siswa yang banyak membuat pembentukan karakter tidak bisa maksimal.”
Tak berhenti di situ, tim kontra lainnya menyampaikan keberatannya terhadap efektivitas SRA. Dea menyebut bahwa “SRA yang terlalu menghindari hukuman justru membuat siswa menjadi permisif dan kurang disiplin. Anak tidak memiliki batasan yang jelas jika pendekatan terlalu lunak.” Wawan menambahkan bahwa “ketika guru terlalu takut bertindak karena takut dilaporkan, maka otoritas guru semakin lemah. Ini membuat pendidikan karakter menjadi tidak efektif karena guru tidak bisa bertindak tegas.” Menanggapi argumen tersebut, Zaimatul dari tim pro menjelaskan bahwa “konsep SRA bukan berarti tidak ada hukuman. SRA tetap memiliki konsekuensi logis yang membentuk kedisiplinan anak, namun tidak dengan cara kekerasan seperti dulu. Sanksi tetap ada, namun lebih mendidik dan sesuai dengan karakter anak masa kini.” Zakiya juga menambahkan bahwa “SRA memiliki sistem pembinaan karakter yang terstruktur lewat aktivitas sosial, pembelajaran emosi, dan keteladanan guru. Jadi bukan sekadar bebas hukuman, tetapi lebih ke penguatan karakter melalui pendekatan yang positif.”
Sebagai penutup dari tim pro, disampaikan bahwa “SRA menempatkan anak sebagai subjek utama pendidikan, menjamin hak mereka untuk belajar dan berkembang dalam lingkungan yang aman. Konsep ini justru memperkuat kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam membentuk karakter anak.” Sementara dari tim kontra, penutupnya menyampaikan bahwa “SRA memang baik, namun tidak bisa berdiri sendiri. Pilar utama tetap berada di keluarga dan masyarakat. Sekolah bisa mendukung, tetapi tidak bisa menggantikan nilai-nilai yang seharusnya dibentuk sejak dini di rumah.”
DAFTAR PUSTAKA
Bansae, M., & Hura, R. (2023). Pendidikan Karakter Dewasa Awal Membentuk Generasi Yang Bertanggung Jawab. GENEVA: Jurnal Teologi dan Misi, 5(2), 84-96.
Herianto, E., Jahiban, M., & Dahlan, D. (2020). Pola Perlindungan Anak dalam Dimensi Sekolah Ramah Anak di Sekolah/Madrasah Kota Mataram. Jurnal Sosial Ekonomi Dan Humaniora, 6(2), 179-191.
Lubis, Z., Ariani, E., Segala, S. M., & Wulan, W. (2021). Pendidikan keluarga sebagai basis pendidikan anak. PEMA, 1(2), 92-106.
Nurlaela, A. (2016). Peranan lingkungan sebagai sumber pembelajaran geografi dalam menumbuhkan sikap dan perilaku keruangan peserta didik. Jurnal Geografi Gea, 14(1).
Komentar
Posting Komentar