Guru dan Karakter bangsa
BERBICARA
tentang pendidikan akan selalu menarik dan tak pernah selesai. Tema ini terus
diperbincangkan sampai akhir zaman. Tak dapat dipungkiri, pendidikan merupakan
Conditio Sine Qua Non bagi manusia. Manusia membutuhkan pendidikan, dimanapun,
kapanpun dan apapun yang terjadi manusia tetap butuh pendidikan, pendidikan
élan vital bagi kehidupan, sebab tanpa pendidikan manusia sulit untuk
berkembang dan akan terkebelakang, dengan demikian pendidikan (diharapkan)
harus betul-betul diarahkan,mutu terus ditingkatkan dengan tidak
meninggalkan kearifan lokal, pendidikan yang mampu mencerdaskan kehidupan
bangsa, membentuk karakter, tamaddun bangsa yang bermartabat, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, multikultural dan enviromental
awareness serta menjadi pribadi yang demokratis sekaligus bertanggung jawab.
Tema hangat yang sering didiskusikan dalam dunia pendidikan adalah sekitar
kompetensi guru, kualitas pendidikan (sekolah) dan kesejahteraan guru. Disini
penulis membatasi hanya tentang peranan guru dalam membangun karakter
anak didiknya.
Harus diakui
pendidikan di Indonesia sangat menekankan pengetahuan semata-mata. Hal ini bisa
dilihat dari para guru yang sangat textbook, mengajar terpaku pada buku
pegangan yang materinya tidak sesuai dengan realitas kehidupan hari ini
(tidak kontekstual), target Ujian Nasional harus lulus seratus persen, apapun
dilakukan supaya target ini tercapai. Sekolah kurang memperhatikan pemupukan
keterampilan (setiap siswa memiliki skill individual yang unik) dan yang tragis
lagi mengabaikan pembinaan kearifan sikap Praktek pendidikan di Indonesia
sepertinya terpengaruh dengan pemikiran filsuf Inggris Sir Francis Bacon,
“knowledge is power’.
Saat ini guru
di republik tercinta ini sangat paham akan peranannya sebagai guru mata
pelajaran. Saya guru Kewarganegaraan, saya guru ekonomi, saya guru bahasa
Inggris dan saya guru fisika, namun kita sangat jarang mendengar peran guru
sebagai guru pembimbing siswa. Guru yang dalam setiap pembelajaran disekolah
tetap menyelipkan pembinaan karakter. Kalau mau jadi dokter jadilah dokter
professional dan jujur, kalau kalian mau jadi insinyur jadilah insinyur yang
professional dan jujur, kalau kalian mau jadi ahli pajak jadilah ahli pajak
yang tulus bukan gayus . intinya adalah jadilah manusia yang manusiawi dalam
kehidupan.
Tradisi kebohongan pendidikan di Indonesia sulit diberantas, ini bisa dilihat dalam ujian kenaikan kelas dan pelaksanaan Ujian Nasional, semuanya sibuk mengatur strategi bagaimana semua siswanya lulus, sehingga pengetahuan yang diajarkan disekolah menjadi tidak bermakna untuk membentuk karakter yang kuat. Guru sebenarnya sangat paham akan peranannya sebagai penerus dan penyebar pengetahuan, makin banyak dipelajari, tapi tak tahu maknanya, pengajaran pengetahuan hampa makna dan tak selaras dengan realitas sosial (meaningless values), pengajaran seperti ini menyebabkan siswa hanya sekedar belajar tapi tidak tahu untuk apa ia pelajari dan apakah pengetahuan tersebut bermanfaat baginya dimasa depan, akhirnya akan melahirkan generasi-generasi masa depan yang perilakunya serba semu, serba bingung. Penuh kepalsuan.
Tradisi kebohongan pendidikan di Indonesia sulit diberantas, ini bisa dilihat dalam ujian kenaikan kelas dan pelaksanaan Ujian Nasional, semuanya sibuk mengatur strategi bagaimana semua siswanya lulus, sehingga pengetahuan yang diajarkan disekolah menjadi tidak bermakna untuk membentuk karakter yang kuat. Guru sebenarnya sangat paham akan peranannya sebagai penerus dan penyebar pengetahuan, makin banyak dipelajari, tapi tak tahu maknanya, pengajaran pengetahuan hampa makna dan tak selaras dengan realitas sosial (meaningless values), pengajaran seperti ini menyebabkan siswa hanya sekedar belajar tapi tidak tahu untuk apa ia pelajari dan apakah pengetahuan tersebut bermanfaat baginya dimasa depan, akhirnya akan melahirkan generasi-generasi masa depan yang perilakunya serba semu, serba bingung. Penuh kepalsuan.
Tidak ada
pilihan lain, selain memasang terus menerus niat yang tulus dan berusaha
semaksimal mungkin untuk tetap terus memperbaiki perilaku pendidikan yang
menyimpang tersebut. Belajar dari pengalaman para founding father kita yang
begitu cinta ilmu, perbedaan etnis, kultur, agama dan warna kulit tidak
menghalangi mereka untuk tetap bersatu dalam koridor keI ndonesiaan, mereka
sadar betul Indonesia penuh perbedaan tapi mereka cinta bangsa, cinta
tanah air dan cinta bahasa Indonesia (Sumpah Pemuda) dan mereka berpendapat
perbedaan itu malah rahmat, ini direalisasikan dengan sangat baik dengan
semboyan Bhineka Tunggal Ika. Prinsipnya. Etnismu tak penting, warna kulitmu
tak penting, bentuk fisikmu tak penting, isi otakmu lumayan penting,
karaktermulah yang paling penting. Kita salut sekaligus iri, walaupun mereka
berbeda pendapat begitu tajam, berbeda keimanan, berbeda ideologi, tapi
relasi pribadi tetap terjalin baik, setelah berdebat keras, mereka bersalaman
dan duduk bersama sambil minum kopi.
Sudah saatnya
pendidikan diIndonesia diwarnai dengan empati. Guru yang memiliki empati tinggi
terhadap anak didiknya, mencurahkan pikirannya, perasaannya dan harapannya
untuk kemajuan anak didiknya sehingga keterpurukan kualitas pendidikan dimasa
depan hanya sekedar mimpi saja
Komentar
Posting Komentar