Pro Kontra Kurikulum Merdeka yang Dinilai Semakin Ribet atau Semakin Efektif


Kurikulum Merdeka merupakan kurikulum yang paling terbaru yang dibuat dan digencarkan oleh Kemendikbud. Kurikulum Merdeka diharapkan mampu menciptakan pendidikan yang semakin berkualitas dan dinamis, khususnya bagi generasi milenial (Kurniati et al., 2022). Pendekatan pendidikan yang menekankan pada pengembangan kreativitas, kemandirian, dan kepemimpinan siswa. Dalam Kurikulum Merdeka, siswa diberi kebebasan untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka sendiri, serta untuk memilih mata pelajaran yang relevan dengan tujuan karier mereka di masa depan. Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan menantang, di mana siswa dihadapkan pada berbagai tantangan dan kesempatan untuk tumbuh secara holistik.

Namun, Kurikulum Merdeka juga mempunyai tantangan, seperti memerlukan waktu dan sumber daya yang cukup untuk pelaksanaannya. Menurut Muslich (2022) dalam kurikulum ini perlu dilakukan refleksi diri agar dapat menjawab tantangan pendidikan pada waktunya. Selain itu, ada kekhawatiran tentang kesiapan guru dalam mengimplementasikan pendekatan ini dengan efektif, serta potensi penurunan standar akademik jika fokusnya beralih dari pembelajaran inti. Kurangnya beberapa kebutuhan membuat terbatasnya peserta didik untuk meningkatkan pengetahuan serta bakat dalam setiap pembelajaran (Syahbana et al., 2024).  Dengan demikian, perlunya pelatihan dan pembekalan yang memadai bagi guru dan staf sekolah mengimplementasikan kurikulum baru ini dengan efektif. Selaras dengan itu, evaluasi terus-menerus perlu dilakukan untuk memastikan bahwa Kurikulum Merdeka dapat memenuhi tujuan pendidikan yang diinginkan. Perlunya komitmen yang kuat dan kolaborasi antara semua pihak terkait, perubahan menuju Kurikulum Merdeka memiliki potensi besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Pada DIKSI (Diskusi Imiah) yang dilaksanakan pada Minggu, 5 Mei 2024 membahas topik yang sedang ramai dibicarakan. Dengan mengundang salah satu Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) UKM KIPM 2022/2023 yaitu Lattifah Tuni’mah, sebagai pemateri yang akan menemani peserta DIKSI dengan topik yang diangkat yaitu pro kontra Kurikulum Merdeka yang dinilai semakin ribet atau semakin efektif.

Namun apakah keputusan dari Kemendikbud ini dapat diterima dan apakah kebijakan baru ini lebih efektif dari kurikulum sebelumnya? Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan bahwa 70% siswa berusia 15 tahun berada di bawah kompetensi minimum dalam memahami bacaan sederhana atau menerapkan konsep matematika dasar. Skor PISA ini tidak mengalami peningkatan yang signifikan dalam sepuluh hingga lima belas tahun terakhir. Studi tersebut memperlihatkan adanya kesenjangan besar antarwilayah dan antarkelompok sosial-ekonomi dalam hal kualitas belajar. Hal ini diperparah dengan adanya pandemi COVID-19. Untuk mengatasi hal tersebut, Kemendikbudristek melakukan penyederhanaan kurikulum dalam kondisi khusus (kurikulum darurat) untuk memitigasi ketertinggalan pembelajaran (learning loss) pada masa pademi. Hasilnya, dari 31,5% sekolah yang menggunakan kurikulum darurat menunjukkan, penggunaan kurikulum darurat dapat mengurangi dampak pandemi sebesar 73% (literasi) dan 86% (numerasi).

Kemudian peserta DIKSI berdiskusi dari tim pro setuju jika Kurikulum Merdeka semakin efektif, hal ini dirasa dari kebijakan mengganti Kurikulum sebelumnya dengan Kurikulum Merdeka lebih baik dengan membandingkan kurikulum di era-era sebelumnya, dinilai belum ada yang mengarahkan siswa untuk berpikir kreatif dan inovatif, kelebihan lainnya adalah menjadikan guru lebih fleksibel dalam mengajarkan dengan gaya mengajar yang nyaman dan dimengerti oleh siswa. Amanda juga menambahkan, Kurikulum ini diharapkan sebagai kurikulum yang berkelanjutan dan diharapkan pula tidak ada istilah lagi ganti Menteri ganti Kurikulum. Namun, pernyataan Amanda dari tim pro dibantah oleh Wawan dari tim kontra, yang mengatakan bahwa Kurikulum Merdeka memuat projek yang berbeda pada tiap tahunnya. Sedangkan, sosialisasi terhadap guru tidak dijelaskan secara rinci dan mengakibatkan perbedaan pendapat, seperti pada guru matematika, diharuskan memberikan projek kepada siswa, sedangkan pada materi matematika dirasa tidak ditemukan poin-poin penting pada butir Pancasila seperti kreatif dan mandiri. Wawan menambahkan bahwa waktu projek lebih banyak dibandingkan pemaparan materi, dia menilai dengan adanya projek maka materi akan dipangkas dan tidak maksimal ketika studi lanjut. Tamara juga menambahkan bahwa penyampaian Kurikulum Merdeka dari Pemerintah kurang konsisten dan evaluasi kedepannya akan sulit, pada daerah terpencil sulit memahami Kurikulum ini dan menjadikan kebingungan antarsekolah dan kurang menerapkan Kurikulum ini. Bella juga menambahkan jika Kurikulum Merdeka ini menjadikan guru bingung karena banyak projek dan harus menerapkan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).

Amanda dari tim pro pun menyangkal argumen dari tim kontra, dia berkata bahwa itu salah gurunya padahal sudah terdapat buku panduan yang diterbitkan Kemendikbud dan ada sosialisasi juga. Faisa dari tim pro pun menambahkan Kurikulum ini baru berjalan 2 tahun, dan sudah ada seminar dan tentang Kurikulum ini, dia merasa jika guru kurang menguasai bisa di bedah dari gurunya bukan kurikulumnya, kita juga harus melihat dari sumber daya manusianya, apakah menerima atau tidak, kurikulum ini tidak bisa berjalan jika guru tidak menguasai kurikulumnya. Namun, dari segi materi, sudah mengalami proses penyempurnaan kembali ketika materi ini duluncurkan, materi ini tidak serta merta menyerupai Kurikulum K13, pemerintah melakukan evaluasi kembali  memadatkan materi yang terpencar dan dijadikan satu kembali. Maka dari itu, kita bisa memberikan peluang bagi yang lain, bukan hanya siswa yang mau aktif di akademik saja, namun juga dari siswa yang mempunyai kreatifitas dan tingkat seninya yang lebih tinggi untuk menguasai hal itu, karena dirasa dalam dunia kerja kita tidak hanya membutuhkan bidang akademiknya saja, namu siwa peru soft skill bisa dipantau melalui kegiatan P5, projek maupun kegiatan lain yang dicanangkan oleh guru-guru ataupun yang lainnya.

Tamara dari tim kontra menyanggah bahwa buku panduan sudah dikasih ke sekolah-sekolah, namun apakan sarana-prasarana memadai, jika dilihat dari Kurikulum ini menggunakan pendekatan pembelajara berdifesiensi, yaitu pembelajaran yang memuat metode pendekatan tertentu terkait dengan Kurikulum Merdeka, ia pun membandingkan sarana dan prasarana dari sekolah kota memadai dan sekolah terpencil kurang memadai untuk mendukung kurikulum merdeka itu sendiri, seperti cara belajar siswa itu berbeda, sehingga sekolah harus memfasilitasi bagaimana mereka belajar dengan gaya belajarnya sendiri itu bisa mengikuti. Maka guru harus memfasilitasi agar siswa paham dengan pelajarannya sesuai karakter siswa sendiri. Guru juga belum memahami betul Kurikulum Merdeka ini. Berarti untuk saat ini, Kurikulum Merdeka masih berproses, jika guru berproses bagaimana dengan siswanya? Dari pengalaman Tamara yang sudah terjun ke lapangan, pada siswa SMK yang telah diajarnya kekurangan fasilitas dan guru kurang memahami tentang PJBL, PBL ataupun permasalahan dana malah pengajarannya kembali pada Kurikulum K13, sehingga para siswanya tidak merasakan Kurikulum Merdeka itu. Inaroh menambahkan bahwa pendidikan di Indonesia mempunyai esensi yang harus mencerdaskan kehidupan bangsa sedangkan pada Kurikulum Merdeka dihadapkan dengan P5 yang katanya memfasilitasi di bidang seni ataupun olahraga namun kejadian di lapangan siswa kurang senang karena terlalu banyak biaya karena siswa yang menanggung biayanya sendiri. Dengan hal itu, Inaroh berfikir bahwa Kurikulum Merdekan belum mencakup esensi mencerdaskan kehidupan bangsa. Wawan juga menambahkan bahwa Projek dalam P5 mempunyai tema tertentu dan harus menjunjung tinggi poin-poin yang berada pada P5 hal tersebut menjadikan kurang efektif. Elysa juga menambahkan bahwa pada Kurikulum tersebut harus melek teknologi dan siswa SD sampai SMA harus bisa membuat Power Point ataupun menggunakan media tertentu dan menyebabkan kesusahan pada siswa pada jenjang SD.

Tim pro menyanggah argument dari tim kontra, Ifah mengatakan bahwa pada Kurikulum Merdeka pemerintah memberi kebebasan untuk menentukan Kurikulum Merdeka sesuai kebutuhan sekolah sendiri, kemudian kita harus siap dengan perubahan, kemudian projek dirasa harus sesuai poin-poin Pancasila, ia merasa bahwa poin-poin dalam Pancasila merupakan payung bagi warganya yang berisi esensi lengkap lengkap tentang warga Indonesia, dan kita diharuskan adaptif dengan zaman agar tidak ketinggalan zaman. Faisa menambahkan bahwa pemerintah sudah mencanangkan program ini selama 4 tahun namun berjalan efektif selama 2 tahun, dia tidak setuju dengan argument tentang bahwa guru disalahkan dalam hal tersebut, padahal pemerintah sudah melakukan pelatihan dan evaluasi pada guru sebulan sekali tentang P5. Ia juga menambahkan bahwa sarana dan pra sarana pada sekolah adalah kewenangan Kepala Sekolah, dan untuk biaya bisa menggunakan dana BOS, untuk Semarang sendiri juga terdapat dana dari Dinas Pendidikan Kota Semarang sehingga jika siswa terbebani dengan biaya, maka bisa dikomunikasikan kepada Dinas Pendidikan Kota Semarang. Pada P5 siswa juga bisa memperkenalkan daerahnya masing-masing, untuk materi di buku meskipun belum lengkap, pada buku terdapat barcode yang bisa di download untuk penyampaian materinya.

Tamara dari tim kontra pun menyanggah pernyataan tersebut, bahwa menurutnya guru harus melakukan pelatihan karena syarat administrasi untuk menjalankan Kurikulum tersebut, maka bisa dikatakan bahwaa guru sendiri sedang berproses, lalu bagaimana dengan siswanya? Kapan akan mengajarnya? Untuk bangsa yang adaptif, Tamara merasa bahwa pergantian Kurikulum sebelumnya ke Kurikulum Merdeka merupakan rombakan yang besar, sehingga menyebabkan ketimpangan sekolah di kota dengan di daerah terpencil. Untuk Kurikulum K13 juga sudah ada nilai-nilai gotong royong dan P5 dirasa melalui perombakan yang besar, menurutnya Kurikulum ini belum efektif karena masih berproses. Wawan menambahkan bahwa pelatihan dari Pemerintah itu timpang dan mengharapkan guru memenuhi Kurikulum Merdeka melalui pelatihan tersebut dan dirasa kurang efektif. Pada P5 bukan pengimplemetasian materi ke dalam projek baru namun lebih ke pendalaman karakter siswa.

                                                                                                       

DAFTAR PUSTAKA

       

Kurniati, P., Lenora Kelmaskouw, A., Deing, A., & Agus Haryanto, B. (2022). Model Proses Inovasi Kurikulum Merdeka Implikasinya Bagi Siswa Dan Guru Abad 21. Jurnal Citizenship Virtues, 2, 408–423.

Muslich, M. (2022). Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, Bumi Aksara.

Syahbana, A., Asbari, M., Anggitia, V., & Andre, H. (2024). Revolusi Pendidikan: Analisis Kurikulum Merdeka Sebagai Inovasi Pendidikan. Journal Of Information Systems And Management, 03(02). https://jisma.org

 

 

           

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ILP2MI (Ikatan Lembaga Penalaran dan Penelitian Mahasiswa se-Indonesia)

PROFIL UKM KIPM UPGRIS

Kenali Potensi Serei Sebagai si Tanaman Pengusir Nyamuk