Pro Kontra Kurikulum Merdeka yang Dinilai Semakin Ribet atau Semakin Efektif
Kurikulum Merdeka merupakan kurikulum yang paling
terbaru yang dibuat dan digencarkan oleh Kemendikbud. Kurikulum
Merdeka diharapkan
mampu menciptakan pendidikan yang semakin berkualitas dan dinamis, khususnya
bagi generasi milenial
Namun,
Kurikulum Merdeka juga mempunyai tantangan, seperti memerlukan waktu dan sumber
daya yang cukup untuk pelaksanaannya. Menurut Muslich (2022) dalam kurikulum ini perlu dilakukan refleksi diri
agar dapat menjawab tantangan pendidikan pada waktunya. Selain itu, ada kekhawatiran
tentang kesiapan guru dalam mengimplementasikan pendekatan ini dengan efektif,
serta potensi penurunan standar akademik jika fokusnya beralih dari
pembelajaran inti. Kurangnya
beberapa kebutuhan membuat terbatasnya peserta didik untuk meningkatkan
pengetahuan serta bakat dalam setiap pembelajaran
Pada DIKSI (Diskusi Imiah) yang dilaksanakan pada Minggu, 5 Mei
2024 membahas topik yang sedang ramai dibicarakan. Dengan mengundang salah satu
Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) UKM KIPM 2022/2023 yaitu Lattifah
Tuni’mah, sebagai pemateri yang akan menemani peserta DIKSI dengan topik yang
diangkat yaitu pro kontra Kurikulum Merdeka yang dinilai semakin ribet atau
semakin efektif.
Namun apakah keputusan dari Kemendikbud ini dapat diterima dan
apakah kebijakan baru ini lebih efektif dari kurikulum sebelumnya? Hasil Programme for
International Student Assessment (PISA) menunjukkan bahwa 70% siswa berusia 15
tahun berada di bawah kompetensi minimum dalam memahami bacaan sederhana atau
menerapkan konsep matematika dasar. Skor PISA ini tidak mengalami peningkatan
yang signifikan dalam sepuluh hingga lima belas tahun terakhir. Studi tersebut
memperlihatkan adanya kesenjangan besar antarwilayah dan antarkelompok
sosial-ekonomi dalam hal kualitas belajar. Hal ini diperparah dengan adanya
pandemi COVID-19. Untuk mengatasi hal tersebut, Kemendikbudristek melakukan
penyederhanaan kurikulum dalam kondisi khusus (kurikulum darurat) untuk
memitigasi ketertinggalan pembelajaran (learning loss) pada masa pademi.
Hasilnya, dari 31,5% sekolah yang menggunakan kurikulum darurat menunjukkan,
penggunaan kurikulum darurat dapat mengurangi dampak pandemi sebesar 73%
(literasi) dan 86% (numerasi).
Kemudian peserta DIKSI berdiskusi dari tim pro setuju jika
Kurikulum Merdeka semakin efektif, hal ini dirasa dari kebijakan mengganti
Kurikulum sebelumnya dengan Kurikulum Merdeka lebih baik dengan membandingkan
kurikulum di era-era sebelumnya, dinilai belum ada yang mengarahkan siswa untuk
berpikir kreatif dan inovatif, kelebihan lainnya adalah menjadikan guru lebih
fleksibel dalam mengajarkan dengan gaya mengajar yang nyaman dan dimengerti
oleh siswa. Amanda juga menambahkan, Kurikulum ini diharapkan sebagai kurikulum
yang berkelanjutan dan diharapkan pula tidak ada istilah lagi ganti Menteri
ganti Kurikulum. Namun, pernyataan Amanda dari tim pro dibantah oleh Wawan dari
tim kontra, yang mengatakan bahwa Kurikulum Merdeka memuat projek yang berbeda
pada tiap tahunnya. Sedangkan, sosialisasi terhadap guru tidak dijelaskan
secara rinci dan mengakibatkan perbedaan pendapat, seperti pada guru
matematika, diharuskan memberikan projek kepada siswa, sedangkan pada materi
matematika dirasa tidak ditemukan poin-poin penting pada butir Pancasila
seperti kreatif dan mandiri. Wawan menambahkan bahwa waktu projek lebih banyak
dibandingkan pemaparan materi, dia menilai dengan adanya projek maka materi
akan dipangkas dan tidak maksimal ketika studi lanjut. Tamara juga menambahkan
bahwa penyampaian Kurikulum Merdeka dari Pemerintah kurang konsisten dan
evaluasi kedepannya akan sulit, pada daerah terpencil sulit memahami Kurikulum
ini dan menjadikan kebingungan antarsekolah dan kurang menerapkan Kurikulum
ini. Bella juga menambahkan jika Kurikulum Merdeka ini menjadikan guru bingung
karena banyak projek dan harus menerapkan Projek Penguatan Profil Pelajar
Pancasila (P5).
Amanda dari tim pro pun menyangkal argumen dari tim kontra, dia
berkata bahwa itu salah gurunya padahal sudah terdapat buku panduan yang
diterbitkan Kemendikbud dan ada sosialisasi juga. Faisa dari tim pro pun
menambahkan Kurikulum ini baru berjalan 2 tahun, dan sudah ada seminar dan
tentang Kurikulum ini, dia merasa jika guru kurang menguasai bisa di bedah dari
gurunya bukan kurikulumnya, kita juga harus melihat dari sumber daya
manusianya, apakah menerima atau tidak, kurikulum ini tidak bisa berjalan jika
guru tidak menguasai kurikulumnya. Namun, dari segi materi, sudah mengalami
proses penyempurnaan kembali ketika materi ini duluncurkan, materi ini tidak
serta merta menyerupai Kurikulum K13, pemerintah melakukan evaluasi
kembali memadatkan materi yang terpencar
dan dijadikan satu kembali. Maka dari itu, kita bisa memberikan peluang bagi
yang lain, bukan hanya siswa yang mau aktif di akademik saja, namun juga dari
siswa yang mempunyai kreatifitas dan tingkat seninya yang lebih tinggi untuk
menguasai hal itu, karena dirasa dalam dunia kerja kita tidak hanya membutuhkan
bidang akademiknya saja, namu siwa peru soft skill bisa dipantau melalui
kegiatan P5, projek maupun kegiatan lain yang dicanangkan oleh guru-guru
ataupun yang lainnya.
Tamara dari tim kontra menyanggah bahwa buku panduan sudah dikasih
ke sekolah-sekolah, namun apakan sarana-prasarana memadai, jika dilihat dari
Kurikulum ini menggunakan pendekatan pembelajara berdifesiensi, yaitu
pembelajaran yang memuat metode pendekatan tertentu terkait dengan Kurikulum
Merdeka, ia pun membandingkan sarana dan prasarana dari sekolah kota memadai
dan sekolah terpencil kurang memadai untuk mendukung kurikulum merdeka itu
sendiri, seperti cara belajar siswa itu berbeda, sehingga sekolah harus memfasilitasi
bagaimana mereka belajar dengan gaya belajarnya sendiri itu bisa mengikuti. Maka
guru harus memfasilitasi agar siswa paham dengan pelajarannya sesuai karakter
siswa sendiri. Guru juga belum memahami betul Kurikulum Merdeka ini. Berarti
untuk saat ini, Kurikulum Merdeka masih berproses, jika guru berproses
bagaimana dengan siswanya? Dari pengalaman Tamara yang sudah terjun ke
lapangan, pada siswa SMK yang telah diajarnya kekurangan fasilitas dan guru
kurang memahami tentang PJBL, PBL ataupun permasalahan dana malah pengajarannya
kembali pada Kurikulum K13, sehingga para siswanya tidak merasakan Kurikulum
Merdeka itu. Inaroh menambahkan bahwa pendidikan di Indonesia mempunyai esensi
yang harus mencerdaskan kehidupan bangsa sedangkan pada Kurikulum Merdeka
dihadapkan dengan P5 yang katanya memfasilitasi di bidang seni ataupun olahraga
namun kejadian di lapangan siswa kurang senang karena terlalu banyak biaya
karena siswa yang menanggung biayanya sendiri. Dengan hal itu, Inaroh berfikir
bahwa Kurikulum Merdekan belum mencakup esensi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Wawan juga menambahkan bahwa Projek dalam P5 mempunyai tema tertentu dan harus
menjunjung tinggi poin-poin yang berada pada P5 hal tersebut menjadikan kurang
efektif. Elysa juga menambahkan bahwa pada Kurikulum tersebut harus melek
teknologi dan siswa SD sampai SMA harus bisa membuat Power Point ataupun
menggunakan media tertentu dan menyebabkan kesusahan pada siswa pada jenjang
SD.
Tim pro menyanggah argument dari tim kontra, Ifah mengatakan bahwa
pada Kurikulum Merdeka pemerintah memberi kebebasan untuk menentukan Kurikulum
Merdeka sesuai kebutuhan sekolah sendiri, kemudian kita harus siap dengan
perubahan, kemudian projek dirasa harus sesuai poin-poin Pancasila, ia merasa
bahwa poin-poin dalam Pancasila merupakan payung bagi warganya yang berisi esensi
lengkap lengkap tentang warga Indonesia, dan kita diharuskan adaptif dengan
zaman agar tidak ketinggalan zaman. Faisa menambahkan bahwa pemerintah sudah
mencanangkan program ini selama 4 tahun namun berjalan efektif selama 2 tahun,
dia tidak setuju dengan argument tentang bahwa guru disalahkan dalam hal
tersebut, padahal pemerintah sudah melakukan pelatihan dan evaluasi pada guru
sebulan sekali tentang P5. Ia juga menambahkan bahwa sarana dan pra sarana pada
sekolah adalah kewenangan Kepala Sekolah, dan untuk biaya bisa menggunakan dana
BOS, untuk Semarang sendiri juga terdapat dana dari Dinas Pendidikan Kota
Semarang sehingga jika siswa terbebani dengan biaya, maka bisa dikomunikasikan
kepada Dinas Pendidikan Kota Semarang. Pada P5 siswa juga bisa memperkenalkan
daerahnya masing-masing, untuk materi di buku meskipun belum lengkap, pada buku
terdapat barcode yang bisa di download untuk penyampaian materinya.
Tamara dari tim kontra pun menyanggah pernyataan tersebut, bahwa
menurutnya guru harus melakukan pelatihan karena syarat administrasi untuk
menjalankan Kurikulum tersebut, maka bisa dikatakan bahwaa guru sendiri sedang
berproses, lalu bagaimana dengan siswanya? Kapan akan mengajarnya? Untuk bangsa
yang adaptif, Tamara merasa bahwa pergantian Kurikulum sebelumnya ke Kurikulum
Merdeka merupakan rombakan yang besar, sehingga menyebabkan ketimpangan sekolah
di kota dengan di daerah terpencil. Untuk Kurikulum K13 juga sudah ada
nilai-nilai gotong royong dan P5 dirasa melalui perombakan yang besar,
menurutnya Kurikulum ini belum efektif karena masih berproses. Wawan
menambahkan bahwa pelatihan dari Pemerintah itu timpang dan mengharapkan guru
memenuhi Kurikulum Merdeka melalui pelatihan tersebut dan dirasa kurang
efektif. Pada P5 bukan pengimplemetasian materi ke dalam projek baru namun
lebih ke pendalaman karakter siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Kurniati, P., Lenora Kelmaskouw,
A., Deing, A., & Agus Haryanto, B. (2022). Model Proses Inovasi Kurikulum
Merdeka Implikasinya Bagi Siswa Dan Guru Abad 21. Jurnal Citizenship
Virtues, 2, 408–423.
Muslich, M. (2022). Pendidikan Karakter:
Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, Bumi Aksara.
Syahbana, A., Asbari, M., Anggitia,
V., & Andre, H. (2024). Revolusi Pendidikan: Analisis Kurikulum Merdeka
Sebagai Inovasi Pendidikan. Journal Of Information Systems And Management,
03(02). https://jisma.org
Komentar
Posting Komentar