Dilema dalam Mengkritik Pemerintah
Dalam meningkatkan
pelayanan publik Presiden Joko Widodo
minta partisipasi masyarakat untuk
aktif dalam memberikan masukkan dan kritik
terhadap pemerintah saat ini.
"Masyarakat
harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi
dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan
upaya-upaya perbaikan perbaikan," jelas Jokowi dalam sambutannya di
Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI, Senin (8/2)
Namun berdasarkan
hasil survei Indikator Politik Indonesia pada bulan Februari 2021 menunjukkan
bahwa ketidakpuasan masyarakat terhadap presiden Jokowi meningkat dari 28
persen menjadi 35,6 persen. Dalam survei yang dilakukan Komisi Nasional
(Komnas) HAM pada Juli-Agustus 2020 menunjukkan bahwa tingkat ketakutan
masyarakat dalam penyampaian kritik terhadap pemerintah cukup tinggi. Ketakutan
dalam menyampaikan kritik
merupakan salah satu imbas
dari adanya pasal 45 UU ITE terkait pencemaran nama baik, juga pasal 45A dan 45B yang banyak menjerat
pengguna media sosial terkait pencemaran nama baik, ujaran kebencian, ancaman
kekerasan, menakut-nakuti.
Pada pasal 207
KUHP terkait penghinaan terhadap
penguasa tidak bisa secara otomatis berlaku sebab Mahkamah Konstitusi melalui
putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006 dalam pertimbangannya menyatakan bahwa pasal
tersebut tidak bisa dikenakan terhadap seseorang apabila sebelumnya tidak ada
pengaduan terlebih dahulu dari pihak
yang merasa dirugikan. Maka bila pemerintah atau presiden tidak
mengadukan pemberlakuan pasal tersebut tidak bisa diproses sekalipun dari
simpatisan maupun pendukungnya. Ketakutan dalam menyampaikan kritik ini terjadi
karena kita terjebak dalam ketidaktahuan pemahaman mengkritik dengan menghina
ataupun menyampaikan ujaran kebencian. Padahal UU No 9 tahun 1998 memberikan
kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum.
Dalam tinjauan
KBBI mengkritik dimaknai sebagai kecaman, tanggapan dan kupasan. Konsepsi makna
kritik harus merujuk pada konteksnya dalam memberikan masukan serta respon terhadap
suatu peristiwa dalam hal ini kebijakan jika ditujukkan kepada pemerintah
maupun presiden baik secara tegas, pedas ataupun santun. Karena kritik itu
lebih mengarah persoalan yang mengevaluasi dan menganalisis.
Kritik juga harus
berdasarkan argumentasi yang kuat dan disertai bukti-bukti yang valid baik
secara lisan, verbal maupun simbol agar tidak merujuk dalam makna hoax. Maka
sangatlah jelas bahwa kritik berbeda dengan penghinaan. Bedanya hanya terkait
makna dari dua kata tersebut agar tidak menjadi hal yang mengkerdilkan
nilai-nilai dalam berdemokrasi dalam menyampaikan kritik.
Dalam tinjauan
KBBI menghina diartikan merendahkan, memandang rendah. Jadi bila ada kebijakan
yang keliru dan tidak tepat apakah masuk dalam hal penghinaan yang ditujukan
kepada presiden dan pemerintah.
Jadi sebuah kritik
tidak boleh langsung dimaknai dengan penghinaan ataupun ujaran kebencian jika
belum ada pembuktian terkait unsur yang objektif.
https://depok.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-091213654/hasil-survei-ungkap-masyarakat-takut-kritik-pemerintah-komnas-ham-pemidanaan-orang-tak-diperlukan
Komentar
Posting Komentar